Kamis, 18 Februari 2010

Budaya Membaca dan Perpustakaan yang Representatif?


Membaca merupakan budaya yang kurang membumi di negeri ini. Dilihat dengan parameter manapun, budaya membaca tenggelam dibandingkan budaya menonton. Hegemoni televisi terhadap masyarakat semakin jelas terlihat ketika industri pertelevisisan mulai berkembang tahun 90-an. Sedangkan industri perbukuan bertahan dengan carut marut dunianya sendiri dengan berbagai kendala penerbitan.


Banyak manfaat yang ditawarkan ketika kita rajin membaca buku. Seseorang dapat memperdalam pengetahuannya sehingga ia lebih peka, kritis, dan terbiasa berfikir sistematis dalam menangkap gejala sosial.


Namun pola pikir seperti itu tidak akan terbentuk jika tidak didukung oleh berbagai ragam bacaan. Berbagai tips yang menawarkan bagaimana menumbuhkan minat baca banyak bermunculan. Tapi yang menjadi soal adalah ketika minat baca yang telah tumbuh, terkendala oleh mahalnya buku.


Di sisi lain, jika hendak mengandalkan perpustakaan, buku-bukunya sering tidak update. Atensi masyarakat terhadap perpustakaan pun tidak sebesar terhadap televisi. Dengan televisi, tinggal pencet tombol dan langsung bisa menikmati sajian yang beragam. Sedangkan jika ingin ke perpustakaan harus pergi ke sekolah, atau pusat kota untuk berkunjung ke perpustakaan daerah dan itupun seringkali tidak terpuaskan. Tidak ada perpustakaan yang memadai di lingkungan sekitar menyebabkan makin mewabahnya virus malas dalam membaca.


Perpustakaan merupakan hal yang begitu krusial ketika kita dihadapkan dengan harga buku yang mahal. Institusi seperti sekolah ataupun perguruan tinggi sudah selayaknya mempunyai perpustakaan yang representatif dalam pemenuhan kebutuhan membaca.


Hal tersebut tak ditemui di Universitas Negeri Yogyakarta yang di tahun 2009 menggembor-gemborkan diri sebagai World Class University. Bila dibandingkan dengan perpustakaan di dua perguruan tinggi negeri di Jogja (baca : UGM dan UIN), UNY kalah jauh.


Dengan masalah yang beragam seperti tidak sesuainya katalog online dengan buku yang ada di rak, kurang komplitnya buku hinga pelayanan yang kurang memuaskan dari para penjaga. Penjaga-penjaga yang tidak ramah turut mendorong malasnya mahasiswa untuk datang berkunjung, mahasiswa seringkali datang jikalau ada tugas saja selain untuk kepentingan itu mahasiswa jarang datang. Dengan tampang muka sangar dan kurang senyum dari penjaga perpustakaan, sudah membuat orang yang akan berkunjung mengurungkan niatnya.

http://ekspresionline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=56:budaya-membaca-dan-perpustakaan-yang-representatif&catid=2:opini&Itemid=3

Tidak ada komentar: