Selasa, 07 Desember 2010

Pentingnya Disiplin dan Tanggung Jawab Sosial

Sudah menjadi sorotan di berbagai media masa tentang pembolosan sidang yang dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seharusnya sanksi moral yang dilakukan oleh media masa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan mengumumkan nama-nama yang sering mangkir dalam persidangan adalah lebih dari cukup. Tetapi hal semacam itu sama sekali tidak membuat mereka jera, bahkan terjadi penurunan pada setiap masa sidang.

Lantas mengapa dulu mereka menginginkan menjadi anggota DPR kalau ketika sudah menjabat mereka membohongi diri mereka sendiri, partai yang sudah membawa nama mereka juga rakyat yang sudah memberi kepercayaan? Kalau pada pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) saja mereka tidak hadir, bagaimana mereka bisa menyalurkan aspirasi rakyatnya? Kalaupun mengahadiri sidang yang mereka lakukan adalah saling sindir ketika mengemukakan pendapat, berbicara dengan orang lain melalui telepon seluler, membaca koran, ada juga yang tidur. Bahkan ketika mereka berpendapat, pendapat mereka yang seringkali mengedepankan emosi, kepentingan pribadi maupun golongan. Itu mungkin karena sebagai politisi, mereka tidak berangkat dari bawah. Yang membuat mereka bermental seperti itu, karena mereka tidak pernah merasakan perjuangan yang sesungguhnya.

Sayang gaji yang kita bayarkan kepada mereka, sayang juga konsumsi yang sudah disediadakan hanya menjadi santapan kucing. Ironis sekali, keadaan rakyat Indonesia malah sebaliknya. Ada yang kelaparan di jalanan, mengharap belas kasihan orang lain. Ketika diajukan sanksi dengan pemotongan gaji bagi yang membolos, mereka marah.

Ada yang lebih parah lagi. Wakil rakyat yang lebih tidak bertanggung jawab, bersikap tidak profesional dengan mengambil yang seharusnya bukan menjadi hak mereka. Memasukan nominal yang tidak sedikit pada rekening masing-masing. Padahal itu uang negara, uang rakyat!

Kemanakah rasa tanggung jawab mereka? Karya nyata tangan mereka seharusnya menjadi bukti, bukan hanya sekedar omong kosong belaka ketika berkampanye.

Seharusnya para anggota DPR yang sering membolos sadar betapa besarnya amanah yang mereka emban di pundak mereka. Untuk apa mereka ada di kursi-kursi dan ruangan mewah. Lalu bagaimana seharusnya yang harus dilakukan? Mungkin dengan penyeleksian secara ketat dalam partai-partai. Kader-kader harus digembleng sebelum mereka diajukan menjadi “calon wakil rakyat”. Harus benar-benar fair, mereka yang tidak layak menjadi wakil rakyat ya seharusnya tidak di ajukan sebagai calon wakil rakyat. Hanya yang kompeten saja yang bisa di ajukan. Rakyat juga harus pintar dalam memilih wakilnya, melihat kredibilitas mereka secara seksama. Menilai trackrecord calon wakilnya selama dia menjabat. Tidak asal tanpa berpikir untuk kedepannya.

“Bukan membolos, bisa jadi ada tugas lain ketika tidak bisa hadir dalam persidangan”. Alasan seperti itu mungkin bisa diterima jika sesekali, dua atau tiga kali. Nah kalau setiap persidangan tidak hadir itu yang perlu dipertanyakan. Presensi bahkan sering memenuhi kuorum, tapi jumlah fisik yang hadir dan bertahan sampai akhir hanya segelintir saja. Pun mereka tidak merasa berada untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, sebagai tugas utama wakil rakyat. Mereka seperti berada dalam taman kanak-kanak dan seperti tidak pernah di ajarkan sopan santun ketika pendapat mereka tidak diterima, atau tidak diberi kesempatan mengemukakan pendapat.

Andai saja mereka menyadari kemudian membelalakan mata hati mereka lebar-lebar, melihat dengan mata telanjang. Bukan karena kepentingan pribadi maupun golongan. Mencermati apa yang di butuhkan untuk kesejahteraan rakyat, kemudian membuat kebijakan untuk itu dengan mengajukan dalam forum-forum dan merealisasikannya dengan langkah-langkah nyata. Ingatlah rakyat yang mengaharapkan keadilan di negeri ini. Semua itu bisa terwujud seandainya para anggota DPR disiplin dan bertanggung-jawab dalam melaksanakan tugas-tugas mereka, bersatupadu bersama-sama.

Tapi yang terjadi dalam kenyataan adalah sangat jauh dari idealnya. Hasilnya ya seperti sekarang ini. Peraturan yang ada di negara kita seperti pisau yang tumpul di atas dan semakin ke bawah semakin tajam. Ketika para pemimpin melakukan pelanggaran entah para pembuat peraturan/kebijakan, aparat penegak hukum, pejabat tinggi juga pejabat peradilan. Sanksi yang berlaku tidak dilaksanakan menurut peraturan yang sesungguhnya, konkalikong di sana-sini. Berbeda ketika rakyat jelata yang melakukan pelanggaran, bahkan peraturan di tegakan setegak-tegaknya.

Ada yang salah dengan sistem di negeri kita, bangkitlah negeriku harapan itu masih ada.

Tidak ada komentar: